05 Desember 2022

Bencana Alam Datang Bertubi-tubi, Bagaimana Kita Menyikapi?

Erupsi Gunung Semeru pada Ahad (4/12/22).
Sumber: cnnindonesia.com 



Dalam seminggu terakhir, terdengar kabar gempa bumi di Cianjur, Jawa Barat yang menelan korban ratusan jiwa meninggal dunia, luka-luka, maupun kerusakan bangunan. Belum lama berselang berita tersebut muncul lagi gempa bumi di Garut dengan magnitudo yang lebih tinggi walaupun dampak kerusakannya tidak seberat Cianjur. Pagi harinya kita mendapat kabar erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur. Belum lagi kejadian alam di tempat lain seperti banjir dan longsor yang porsi pemberitaannya tidak sebesar contoh pertama.

Kita sebagai umat beragama (Islam) yang dikaruniai akal, tentu harus bisa memahami berbagai peristiwa alam yang terjadi, atau yang sering kita kenal sebagai ayat-ayat kauniyyah dengan menggunakan ayat-ayat qauliyyah dari Allah SWT Sang Maha Pencipta. Apakah cukup dengan mengatakan ini adalah cobaan, musibah, bahkan azab? Atau bagaimana? 

Nah, kali ini saya akan sampaikan secara singkat Fikih Kebencanaan yang merupakan hasil Munas Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Tahun 2015. Naskah ini bisa menjadi panduan bagaimana kita menyikapi bencana, baik yang sifatnya antisipatif maupun solutif.

Hakikat Bencana Bagi Orang yang Beriman

Bencana, apapun bentuknya, sesungguhnya merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada manusia. Berbagai peristiwa yang menimpa manusia pada hakikatnya merupakan ujian dan cobaan atas keimanan dan perilaku yang telah dilakukan oleh manusia. Sistem keimanan yang diajarkan dalam Islam bertumpu pada keyakinan bahwa Allah merupakan Zat Yang Maha Raḥmah (kasih dan sayang). Allah sendiri menetapkan bagi diri-Nya sifat raḥmah. Sifat raḥmah Allah akan membentuk sebuah sikap yang merupakan tujuan puncak dalam Islam, yakni kebaikan dan keadilan. Begitu pula sebaliknya, orang beriman dan bertakwa selalu mengakui bahwa apa yang diberikan oleh Allah kepada mereka adalah “kebaikan”.

Dalam menjalani kehidupan, manusia selalu berhadapan dengan sesuatu yang menimpa dirinya. Sesuatu yang menimpa ini disebut dengan muṣībah. Konsekuensi dari ajaran tauhid, peristiwa yang menimpa manusia tersebut bukanlah sebuah persoalan, karena manusia hidup pasti akan diuji dengan berbagai persoalan. Muṣībah tidak lain adalah ujian dan cobaan kepada manusia baik berupa ḥasanāt (sesuatu yang baik) ataukah sayyi’āt (sesuatu yang tidak baik). Namun, hal yang menjadi persoalan adalah bagaimana manusia menghadapi ujian dan cobaan (persoalan) itu sendiri. Dengan kata lain, permasalahan manusia terletak pada bagaimana dirinya menghadapi persoalan, bukan pada persoalan itu sendiri. Peristiwa yang merupakan musibah merupakan ketetapan dan ketentuan Allah (takdir). Takdir di sini dimaknai dengan sebuah ketetapan dan ketentuan Allah yang telah terjadi di hadapan kita.

Hanya Allah saja yang mengetahui ketetapan dan ketentuan-Nya, manusia hanya dapat mengetahuinya ketika ketetapan dan ketentuan tersebut terjadi. Adapun ketika ketetapan dan ketentuan yang akan terjadi manusia juga tidak mengetahuinya, hanya Allah saja yang Maha Tahu. Dengan demikian, manusia wajib memohon kepada Allah dan berusaha untuk mensikapinya dengan penuh kesabaran dalam rangka merubah keadaan yang dihadapinya menjadi lebih baik.

Fungsi Bencana

Bencana berfungsi sebagai media untuk introspeksi seluruh perbuatan manusia yang mendatangkan peristiwa yang merugikan manusia itu sendiri. Hal ini dapat dipahami bahwa perbuatan manusia terkadang dilakukan tanpa pertimbangan yang matang. Ketika melakukan sesuatu perbuatan, manusia sering kali tidak memikirkan apakah perbuatan tersebut berdampak negatif pada pihak lain (manusia dan alam) atau tidak. Dalam konteks inilah apa yang disebut sebagai kesalahan terjadi. Kesalahan dalam hal ini dipahami sebagai sebuah perbuatan manusia yang dilakukan tanpa memperhitungkan aspek-aspek yang lebih luas.

Dengan demikian kesalahan tidak hanya diartikan sebagai perbuatan dosa dalam konteks teologis, namun kesalahan juga diartikan sebagai dosa sosiologis yakni “kesalahperhitungan” dalam berbuat terhadap manusia lain atau terhadap alam. Misalnya, manusia salah memperhitungkan faktor risiko yang ada di sekitarnya sehingga menimbulkan kerugian bahkan kerusakan. Contoh riil, ketika manusia membangun pemukiman di wilayah lereng-lereng pegunungan dengan menebang pohon-pohon di sana maka ketika musim hujan air tidak meresap dengan sempurna, dan tanah juga tidak ada penahan. Dalam kondisi seperti itu, air hujan yang volumenya besar dan terakumulasi akan menggerus lereng-lereng sehingga terjadilah banjir atau tanah longsor. Demikian juga dengan wilayah gempa dan wilayah gunung berapi, manusia mesti memperhitung-kan ketika akan tinggal di wilayah tersebut. Ketika tidak memperhitungkan dengan cermat risiko, bencana akan semakin besar, dan inilah “kesalahan sosial” itu.

Akibat kesalahan perhitungan perbuatan manusia dalam menghadapi risiko, maka bencana pasti akan muncul yang berakibat negatif pada kehidupan manusia. Namun demikian, munculnya bencana juga sebenarnya berdampak positif bagi manusia. Salah satu contoh adalah setelah terjadi bencana gempa bumi atau tsunami, maka manusia akan berpikir dan memperhitungkan untuk membangun tata kota yang baik dan dapat mengelola kerentanan dan risiko yang mungkin akan muncul. Kemudian setelah bencana gunung api meletus akan membawa dampak positif bagi manusia seperti munculnya sikap arif terhadap alam karena abu gunung berapi akan membawa kesuburan tanah. Demikian pula setelah terjadi bencana sosial seperti kerusuhan atau gagal teknologi nuklir, manusia akan lebih banyak perhitungan untuk bersikap kepada manusia lain dan lebih banyak perhitungan untuk membangun teknologi yang mempunyai tingkat keselamatan yang tinggi.

Lantas harus bagaimana sikap dan kita, mana dalil-dalilnya, peran manusia sebagai khalifah bagaimana?

Saya persilahkan untuk membaca secara lengkap naskah Fikih Kebencanaan yang dapat diunduh disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana tanggapan Anda tentang artikel ini? yuk tulis di kolom komentar